Full Width CSS

Monday 26 January 2015

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)

Pendekatan konsultasi akar rumput (grassroot) telah lama dipandang sebagai cara terbaik untuk menumbuhkan rasa  memiliki masyarakat atas proyek-proyek berbasis warga, mengembangkan dan memelihara lembaga-lembaga demokrasi,  mengurangi konflik kepentingan,  mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Dalam satu  dekade   terakhir, konsultasi   akar   rumput   telah   dilaksanakan  di   Indonesia   dalam   berbagai   bentuk. Akan   tetapi penyelenggaraannya kerap kurang memperhatikan aspek partisipasi secara luas, dan biasanya masih berupa seremonial dan acara rutin belaka[1].
Pemerintah telah menetapkan kegiatan musyawarah pembangunan   daerah   atau   Musrenbang  sebagai sarana   untuk   melibatkan   masyarakat   dalam perencanaan   pembangunan   di   daerah.  Berbagai prakarsa juga telah ditempuh sejumlah daerah untuk  meningkatkan   efektifitas  partisipasi   masyarakat,  antara   lain   dengan  melembagakan   prosedur  Musrenbang   dalam   Peraturan   Daerah   (Perda); pengembangan Perda transparansi dan partisipasi; keterlibatan   lebih   besar   DPRD   dalam   proses perencanaan;       kerjasama    dengan     organisasi  masyarakat sipil (OMS) untuk fasilitasi pembahasan anggaran;  serta   pelatihan   metodologi   dan   teknik prioritisasi   alokasi   anggaran   bagi   fasilitator Musrenbang.
Meskipun terdapat komitmen yang tinggi dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, peranan, fungsi dan jurisdiksi  organisasi masyarakat sipil dalam proses perencanaan dan penganggaran belum didefinisikan secara jelas. Keadaan ini  membatasi efektifitas keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah.
Sejak diterapkannya proses desentralisasi pada tahun 1999, Pemerintah Pusat telah melakukan usaha-usaha, melalui  serangkaian regulasi dan berbagai tindakan, untuk mendorong penerapan pendekatan partisipasi dalam perencanaan  pembangunan daerah, serta membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan kepemerintahan  daerah. Pemerintah Daerah mendukung usaha-usaha di atas dengan melaksanakan praktek-praktek perencanaan  partisipatif. Meskipun memang perencanaan partisipatif ini lebih bagus dalam tataran peraturan tapi tidak dalam pelaksanaan.
Keberadaan unsur masyarakat dalam musrenbang sendiri seringkali tidak terwakili dengan baik, sehingga hasil keputusan musrenbang seringkali tidak benar-benar menfasilitasi kepentingan masyarakat. Untuk itulah kiranya perlu dilakukan sebuah riset sebelum musrenbang dilaksanakan.
Musrenbang adalah forum multi-pihak terbuka yang secara bersama mengindentifikasi dan menentukan prioritas  kebijakan pembangunan masyarakat. Kegiatan ini berfungsi sebagai proses negosiasi, rekonsiliasi, dan harmonisasi  perbedaan antara pemerintah dan pemangku kepentingan non pemerintah, sekaligus mencapai konsensus bersama  mengenai prioritas kegiatan pembangunan berikut anggarannya.
Pada tingkat masyarakat (desa), Musrenbang bertujuan untuk mencapai kesepakatan tentang prioritas program SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yang akan dibiayai dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan Alokasi Dana Desa (ADD), serta memilih wakil-wakil dari pemerintah dan masyarakat yang akan mengikuti Musrenbang tingkat kecamatan. Pada tingkat kecamatan, peran dan fungsi Musrenbang   ialah   untuk   mencapai konsensus   dan   kesepakatan   mengenai [2]:
  1. Prioritas program dan kegiatan SKPD untuk dibahas dalam Forum SKPD;
  2. Penentuan perwakilan dari kecamatan yang   akan   menghadiri   Musrenbang kabupaten.
Pada tingkat kabupaten/kota, Musrenbang  bertujuan   untuk   mencapai   konsensus  dan   kesepakatan   tentang   draft   final  RKPD   (Rencana   Kerja   Pemerintah  Daerah). Dokumen ini berisikan  [3]:
  1. Arah kebijakan pembangunan daerah;
  2. Arah program dan kegiatan prioritas SKPD berikut   perkiraan   anggarannya   atau Renja   (Rencana   Kerja)   SKPD;
  3. Kerangka ekonomi makro dan keuangan;
  4. Prioritas program dan kegiatan yang akan dibiayai olehAPBD, APBD Provinsi, dan   sumber-sumber  biaya  lainnya;
  5. Rekomendasi dukungan peraturan dari Pemerintah Provinsi dan Pusat;
  6. Alokasi anggaran untuk ADD.
Selain itu pada tingkat kecamatan dan kabupaten/kota terdapat pula kegiatan serupa yang disebut Forum SKPD, yang  membahas sektor-sektor spesifik seperti kesehatan dan pendidikan. Kegiatan ini memungkinkan setiap SKPD memadukan program-program mereka dengan perspektif dan prioritas masyarakat. Hasil dari Musrenbang kecamatan menjadi bahan diskusi pada Forum SKPD, dan hasilnya kemudian dibawa ke  Musrenbang kabupaten/kota untuk dibahas lebih lanjut.
Musrenbang pada dasarnya, adalah perencanaan yang bersifat Botton Up Planning, karena perencanaan dari bawah tentunya masyarakat adalah subjek (bukan Objek) Pembangunan. Sementara perencanaan program SKPD pada dasarnya bersifat Top Down Planning melalui kebijakan yang dibuat sendiri oleh SKPD. Disini SKPD adalah subjek pemberi pelayanan kemasyarakatan. Musrenbang berada diantara Kebutuhan, Keinginan dan Proses Perencanaan Program SKPD. Merujuk dari analisis kebutuhan dan keinginan serta pendapat berbagai pakar pembangunan kabupaten, yang menjelaskan bahwa Pembangunan di suatu kabupaten dalam konsep desentralisasi akan berhasil jika memperhatikan atau berada dalam sistem dan subsistem Pemerintahan Lokal, Masyarakat dan Keluarga Setempat serta Dunia Usaha (Wiraswasta) Lokal. Masing-masing mempunyai unsur yang sama yaitu Sumber Daya Manusia (SDM), Cara Bekerja, dan Nilai-nilai dalam beraktifitas.
  1. Mengatur Partisipasi Masyarakat
Pemerintah telah menerbitkan serangkaian peraturan perundangan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses resmi perencanaan dan penganggaran daerah. Peraturan-peraturan tersebut meliputi[4]:
-          Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; meletakkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting untuk mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat; menciptakan rasa memiliki masyarakat dalam pengelolaan   pemerintahan   daerah; menjamin   terdapatnya   transparansi, akuntabililitas   dan   kepentingan   umum; perumusan program dan pelayanan umum yang memenuhi aspirasi masyarakat.
-          Undang-Undang   25/2004 tentang   Sistem   Perencanaan   Pembangunan   Nasional;  melembagakan Musrenbang di semua peringkat pemerintahan dan perencanaan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Menekankan   tentang   perlunya   sinkronisasi lima   pendekatan   perencanaan   yaitu   pendekatan   politik, partisipatif, teknokratis, bottom-up dan top down dalam perencanaan pembangunan daerah.
-          Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tahun 2006 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang; mengatur titik masuk (entry point) partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Surat edaran bersama ini juga mempedomani tata cara, capaian, prosedur, proses, dan mekanisme penyelenggaraan Musrenbang dan forum multistakeholder SKPD.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah menciptakan kerangka bagi Musrenbang untuk   dapat   mensinkronisasikan   perencanaan ‘bottom-up’   dengan ‘top   down’   dan   merekonsiliasikan   berbagai kepentingan   dan   kebutuhan   pemerintah   daerah   dan   non   pemerintah   daerah   dalam   perencanaan   pembangunan daerah.
Regulasi lain yang memungkinkan masyarakat untuk dapat lebih memantau dampak pengeluaran pemerintah daerah, seperti pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan dan penguatan peran perempuan,adalah sebagai berikut[5]:
-          Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara; Peraturan Pemerintah No. 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,dan Peraturan Mendagri No. 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah; melembagakan elemen-elemen penting dari tata pemerintahan yang baik seperti akuntabilitas, transparansi, efisiensi dan efektifitas alokasi sumber dana, keberlanjutan pengelolaan keuangan daerah, dan pengelolaan kinerja seperti perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja. Peraturan dan perundangan ini berpeluang untuk memberikan kerangka yang lebih baik bagi organisasi masyarakat sipil untuk terlibat dalam proses penganggaran.
-          Peraturan Pemerintah No.65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal; ditujukan untuk memberikan kerangka yang lebih berkelanjutan bagi perbaikan pelayanan publik. Peraturan ini memberikan peluang dan instrumen bagi penguatan organisasi masyarakat sipil dan masyarakat marjinal untuk lebih   menyuarakan   kebutuhannya   akan   pelayanan   publik,  advokasi   dalam   proses   penyusunan   perencanaan   dan pengelolaan pelayanan, dan pengawasan terhadap implementasi pelayanan publik. Ini juga akan memungkinkan konsultasi yang lebih efektif dengan SKPD yang bertanggung jawab dalam penyediaan pelayanan dasar,memudahkan pemantauan dan evaluasi   kinerja   pelayanan,  serta  analisis   alokasi   anggaran   terutama   untuk   kaum   perempuan   dan   mengatasi kemiskinan.
-          Peraturan Pemerintah No. 72/2005 tentang Desa; mengatur tentang sumber dana  untuk desa, termasuk Alokasi Dana Desa (ADD) yang besarnya minimal 10 persen dari bagian dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh kabupaten/kota dan diberikan ke desa secara proporsional. Peraturan ini memberikan peluang bagi pendalaman demokratisasi proses perencanaan pembangunan desa;
-           Surat Edaran Mendagri 2005 tentang Pedoman PenerapanAlokasi Dana Desa memberi pedoman tentang pengaturan besaran ADD, prinsip-prinsip pengelolaan ADD terutama partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ADD, institusi pengelola, sistem, prosedur dan mekanisme penyaluran dan penggunaan, pelaporan dan pengawasan ADD.
Permasalahan yang terjadi hari ini, Musrenbang cenderung tidak efektif, hasil yang didapat dari musrenbang-pun akhirnya hanya menjadi hasil yang diinginkan oleh pihak pemerintah yang kadangkala bukanlah hal-hal substantif seperti yang dibutuhkan masyarakat. Untuk mengurangi itu semua, sehingga nantinya diharapkan agar tercipta musrenbang yang efektif dan hasilnya berpihak pada masyarakat, maka penulis pikir perlu diadakan sebuah riset pendahuluan sebelum musrenbang ini dilaksanakan.
Adapun metode riset yang penulis tawarkan adalah dengan menggunakan metode survey tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan dan segala aspek yang ada dalam lingkungan sebuah daerah tertentu. Selain itu, juga dihitung kembali bagaimana tingkat kesejahteraan daerah tersebut, apakah mengalami kenaikan, stagnan, atau malah terjadi penurunan.
Setelah itu, dari hasil survey, disusunlah daftar kebutuhan masyarakat. Daftar kebutuhan ini kemudian dibedakan antara daftar kebutuhan yang sifatnya mendesak, agak mendesak, dan tidak terlalu mendesak. Hal ini penting dilakukan agar segera diketahui mana saja program yang nantinya dilaksanakan secepatnya, atau mana yang masih bisa menunggu, sehingga pemerintah bisa mengatur prioritas dalam pembangunan daerah.
Dengan demikian, dengan membawa daftar masalah dan kebutuhan masyarakat, keberadaan musrenbang akan dapat lebih efektif, dan sesuai dengan harapan masayrakat.
Selain itu, dalam upaya untuk melakukan Perspektif Peningkatan Kualitas Musrenbang secara umum, penguatan Musrenbang paling tidak memerlukan dua aspek [6]:
  1. Penerapan prinsip inklusif dan broad base  participation di semua tahapan dan peringkat proses pengambilan keputusan yang meliputi konsultasi pada peringkat kebijakan, perencanaan, alokasi sumber daya, implementasi, pemantauan, dan evaluasi;
  2. Ketersediaan dan kelengkapan  analisis   teknis, termasuk sinkronisasi prioritas pembangunan daerah antarsektor dan tingkat pemerintahan (nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa) disertai dengan forum pembahasan yang partisipatif untuk memastikan bahwa program   dan   kegiatan   efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat
Untuk itu, sebelum melakukan musrenbang ada baiknya penyusunan materi muatan musrenbang maupun dalam pelaksanaan musrenbang terlebih dahulu melihat beberapa hal dibawah ini[7] :
A.    Regulasi Nasional
Surat Edaran Bersama tentang Musrenbang yang diterbitkan setiap tahun oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara/Kepala   BAPPENAS   perlu   diganti   dengan   regulasi yang   lebih   permanen   untuk  menjamin   kepastian   dan keberlanjutan. Ini akan membantu mengatasi ketidakseragaman komitmen dari pimpinan pemerintahan di sejumlah daerah   terhadap   perwujudan   penyelenggaraan   pemerintahan   yang   partisipatif   dan   yang   bersikap   menunggu diterbitkannya regulasi untuk melakukan tindakan yang lebih nyata.
Regulasi yang diterbitkan hendaknya:
  1. Mengembangkan   prinsip   inklusif   dan broad based participation   yang   mengikutsertakan semua   kelompok   masyarakat   yang   relevan (perempuan, masyarakat   miskin,  kelompok marjinal dan dunia usaha );
  2. Mempertegas peranan, fungsi dan jurisdiksi dari masing-masing         stakeholder      (organisasi masyarakat   sipil   dan   DPRD)   dalam     proses perencanaan dan penganggaran, terutama dalam penyiapan dan perumusan anggaran;
  3. Bersifat   luwes  untuk   mengakomodasikan praktek-praktek yang baik di daerah;
  4. Memastikan   pemenuhan   standar   konsultasi publik;
  5. Mewujudkan kondisi bagi pengembangan penganggaran partisipatif
Pengembangan   regulasi   tersebut   perlu   mengikut sertakan semua  pemangku   kepentingan   yang   sesuai,  termasuk pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil yang telah mengimplementasikan praktek-praktek Musrenbang yang   baik.
  1. Regulasi Daerah
Berdasarkan regulasi nasional tersebut di atas, pemerintah daerah hendaknya membuat peraturan daerah tentang Musrenbang yang disesuaikan dengan kondisi setempat. Hal ini untuk memastikan dan menguatkan komitmen dari manajemen puncak di daerah, DPRD, dan organisasi masyarakat sipil untuk mengimplementasikan perencanaan partisipatif. Apabila dirancang dengan baik, maka regulasi ini akan mampu meningkatkan pemantauan dan pengawasan  organisasi masyarakat sipil terhadap anggaran publik dan memperbaiki transparansi anggaran serta meningkatkan keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran.
Peraturan daerah yang dibuat, antara lain perlu mengakomodasikan hal-hal berikut:
  1. Kejelasan proses perencanaan partisipatif;
  2. Akomodasi penganggaran partisipatif dalam prosesnya;
  3. Bagan alir dan kalender yang jelas tentang proses perencanaan dan penganggaran daerah;
  4. Arahan struktur dan keanggotaan organisasi penyelenggara Musrenbang;
  5. Ketersediaan anggaran APBD yang memadai untuk menyelenggarakan musrenbang;
  6. Kalender kegiatan penyusunan rencana dan anggaran tahunan;
  7. Tipologi stakeholder yang akan diundang atau dilibatkan, termasuk pengarusutamaan gender;
  8. Peranan, fungsi, dan jurisdiksi masing-masing stakeholder;
  9. Keterlibatan aktif DPRD dalam semua tapan proses perencanaan;
10. Peranan dan fungsi forum konsultasi multi stakeholder SKPD;
11. Publikasi APBD di media
  1. Kualitas Musrenbang
Kualitas Musrenbang perlu diperbaiki guna mencapai suatu standar konsultasi publik yang baik dalam perencanaan partisipatif. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
  1. Meningkatkan kualitas fasilitator, antara lain melalui bantuan teknis dan pelatihan fasilitator;
  2. Memastikan representasi perempuan dan kelompok marjinal sebagai stakeholder;
  3. Meningkatkan keterkaitan dengan forum konsultasi multi stakeholder SKPD;
  4. Meningkatkan kualitas dan kekinian informasi yang disediakan bagi peserta, termasuk informasi tentang perkiraan anggaran;
  5. Mendokumentasikan secara baik kesepakatan yang dicapai dalam Musrenbang;
  6. pengembangan instrumen yang lebih baik untuk memandu perumusan kebutuhan dan aspirasi stakeholder dan meningkatkan realisasi usulan;
  7. Memperbaiki koordinasi waktu dan logistik Musrenbang;
  8. Menciptakan mekanisme untuk meningkatkan akuntabilitas Musrenbang seperti pengembangan indikator untuk memantau kinerja proses pasca Musrenbang; seperti persentase usulan Musrenbang yang direalisasikan dalam APBD (terutama yang berkaitan dengan usulan perbaikan atau pengembangan pelayanan dasar untuk masyarakat miskin)
Peranan dan Fungsi Organisasi Masyarakat Sipil
Peranan dan tanggung jawab organisasi masyarakat sipil dalam Musrenbang perlu diperjelas. Kemungkinan peranan dan fungsi OMS:
  1. Pengembangan koalisi strategis dan jaringan yang efektif untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses perencanaan dan penganggaran di daerah untuk menerapkan penganggaran partisipatif;
  2. Menjadi fasilitator Musrenbang;
  3. memberikan advokasi, pelatihan, pendampingan, penelitian, dan analisis anggaran;
  4. Menyediakan dan meningkatkan akses masyarakat pada informasi perencanaan dan penganggaran agar mereka lebih peduli dan aktif berkontribusi dalam prosesnya;
  5. Menciptakan forum publik untuk mendorong pembahasan APBD sebelum APBD disetujui dan disahkan;
  6. Melakukan kampanye untuk mendorong transparansi anggaran;
  7. Memantau dan mengevaluasi anggaran dan kinerja pelayanan publik;
  8. Membantu DPRD untuk melakukan tinjauan (review) dan penilaian terhadap dampak anggaran yang diusulkan pemerintah daerah, terutama dampak anggaran bagi usaha pengentasan kemiskinan dan penerapan standar pelayanan minimal;
  9. Bekerjasama dengan media untuk memastikan tujuan-tujuan perencanaan dan penganggaran partisipatif, proses, dan hasil-hasilnya dipublikasikan lebih baik.
Peranan dan Fungsi DPRD
Terdapat kebutuhan untuk menguatkan keterlibatan DPRD dalam Musrenbang khususnya dan semua tahapan proses perencanaan pada umumnya. Di samping itu, jadwal waktu reses DPRD perlu disinkronisasikan dengan jadwal waktu Musrenbang dan kalendar perencanaan dan penganggaran daerah. Dengan demikian DPRD dapat berkontribusi aktif dan efektif dalam Musrenbang pada saat kegiatan tersebut dilaksanakan.
 Peranan dan fungsi DPRD perlu diperkuat dalam hal-hal sebagai berikut:
  1. Keterlibatan aktif dari komisi, komite DPRD yang relevan dalam diskusi, peninjauan, dan evaluasi usulan masyarakat dalam Musrenbang;
  2. Pemahaman   terhadap   kebutuhan   dan   aspirasi   masyarakat   disuarakan   dalam   Musrenbang   dan   memberikan masukan atas prioritas program berdasarkan prioritas masayarakat;
  3. Memastikan terdapatnya konsistensi dan keseimbangan antara program dan anggaran tahunan daerah dengan prioritas nasional dan provinsi dan antara prioritas sektoral dengan alokasi anggaran;
  4. Memastikan bahwa Musrenbang menerapkan standar konsultasi publik yang sesuai;
  5. mencermati kebutuhan pengembangan regulasi untuk dimasukkan dalam program Renja DPRD mendukung program dan kegiatan yang diprioritaskan di Musrenbang.
Keberhasilan penerapan metode ini sangat bergantung kepada peran masing-masing pihak, jika semuanya berjalan dengan semestinya, maka yang dihasilkan dalam musrenbang inipun juga akan menjadi baik, semoga.