Full Width CSS

Sunday 4 March 2018

Sertifikat Haram

Beberapa waktu yang lalu, sempat terlontar pertanyaan sekaligus pernyataan sejumlah orang tentang mengapa dilakukan sertifikasi halal, bukan sertifikasi haram? Padahal, sertifikasi haram lebih mudah dan sederhana. Bagaimana menduduk soalkan tentang sertifikasi Haram ini?.

Dibandingkan makanan halal, makanan haram yang dicantumkan dalam Al-Quran dan Hadits lebih sedikit jumlahnya. Lantas, mengapa Sertifikasi Haram saja yang diberlakukan?

Jawabannya dengan mengutip surah Al-Baqarah ayat 168-169: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.“.

Dari ayat tersebut, jelas bahwa Allah telah memerintahkan kita untuk mencari, memilih, dan mengonsumsi pangan halal. Seperti makna hadis Nabi SAW, Al Halalu Bayyinun, al haramu bayyinun (yang halal jelas dan yang haram jelas). Namun, di antara keduanya terdapat ‘syubhat’.

Berdasarkan penelitian LPPOM MUI, produk pangan yang diproses dengan teknologi ternyata banyak yang berhukum syubhat, sehingga harus diteliti dan diklarifikasi kehalalannya.

Sebagai contohnya adalah ubi goreng. Secara alami, ubi atau ketela jelas halal. Namun, statusnya bisa berubah jadi syubhat jika di goreng. Pasalnya, minyak gorengnya bisa saja di filter dengan karbon aktif yang berasal dari kontaminan haram (babi).

Jadi, ditinjau dari sudut pandang syariah, produk hasil olahan Industri pangan berhukum syubhat sampai diketahui pasti asal bahan dan proses pengolahannya. Selain itu, banyak pihak di Industri pangan yang tidak mengetahui aspek kehalalan bahan maupun proses produksinya.

Makanya, LPPOM MUI memberikan advokasi dan edukasi. Salah satunya adalah menyarankan penggantian bahan syubhat dengan bahan yang halal, maka dengan demikian produk yang dihasilkanpun menjadi halal, sesuai ketetapan Komisi Fatwa MUI.

Hal inipun diwujudkan dengan penerbitan Sertifikat Halal (SH) MUI. Penetapan fatwa Halal juga harus dengan syarat ketat. Tak boleh sembarang orang memutuskan halal dan haram berdasarkan pemahaman sendiri. Harus ada pernyataan resmi dari ulama sebagai orang yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Hal ini sejalan dan ditegaskan dalam HR Imam Bukhari No. 6015 yang berbunyi “Nabi saw bersabda: ‘Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.’ Ada seorang sahabat bertanya: ‘Bagaimana maksud amanat disia-siakan?’ Nabi menjawab: ‘Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”.

Olehnya itu, sudah semestinya, sejak sekarang untuk peduli dengan produk yang kita komsumsi. Pastikan Produk tersebut telah memiliki sertifikat Halal sehingga kita menjadi merasa aman, tenang dan yang pasti produk Halal akan memberikan keberkahan karena kita telah mematuhi ajaran Allah dan RasulNya. Yang pada akhirnya, kita berikan dukungan terhadap produk bersertifikat Halal, sehingga masyarakat akan menjadikan syarat bagi produk yang di komsumsinya, dan tentu saja Produsen akan memproduksi produk bersertifikat Halal untuk memenuhi syarat dan kebutuhan konsumen.

Wallahu muwaffiq

Penulis : Dr. Muhammad Nusran (Dosen Teknik Industri FTI UMI / Ketua Halal Centre UMI Makassar)