Beberapa
waktu yang lalu, sempat terlontar pertanyaan sekaligus pernyataan sejumlah
orang tentang mengapa dilakukan sertifikasi halal, bukan sertifikasi haram?
Padahal, sertifikasi haram lebih mudah dan sederhana. Bagaimana menduduk
soalkan tentang sertifikasi Haram ini?.
Dibandingkan
makanan halal, makanan haram yang dicantumkan dalam Al-Quran dan Hadits lebih
sedikit jumlahnya. Lantas, mengapa Sertifikasi Haram saja yang diberlakukan?
Jawabannya
dengan mengutip surah Al-Baqarah ayat 168-169: “Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh
yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat
dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.“.
Dari
ayat tersebut, jelas bahwa Allah telah memerintahkan kita untuk mencari,
memilih, dan mengonsumsi pangan halal. Seperti makna hadis Nabi SAW, Al Halalu
Bayyinun, al haramu bayyinun (yang halal jelas dan yang haram jelas). Namun, di
antara keduanya terdapat ‘syubhat’.
Berdasarkan
penelitian LPPOM MUI, produk pangan yang diproses dengan teknologi ternyata
banyak yang berhukum syubhat, sehingga harus diteliti dan diklarifikasi
kehalalannya.
Sebagai
contohnya adalah ubi goreng. Secara alami, ubi atau ketela jelas halal. Namun,
statusnya bisa berubah jadi syubhat jika di goreng. Pasalnya, minyak gorengnya
bisa saja di filter dengan karbon aktif yang berasal dari kontaminan haram
(babi).
Jadi,
ditinjau dari sudut pandang syariah, produk hasil olahan Industri pangan
berhukum syubhat sampai diketahui pasti asal bahan dan proses pengolahannya.
Selain itu, banyak pihak di Industri pangan yang tidak mengetahui aspek
kehalalan bahan maupun proses produksinya.
Makanya,
LPPOM MUI memberikan advokasi dan edukasi. Salah satunya adalah menyarankan
penggantian bahan syubhat dengan bahan yang halal, maka dengan
demikian produk yang dihasilkanpun menjadi halal, sesuai ketetapan Komisi Fatwa
MUI.
Hal
inipun diwujudkan dengan penerbitan Sertifikat Halal (SH) MUI. Penetapan fatwa
Halal juga harus dengan syarat ketat. Tak boleh sembarang orang memutuskan
halal dan haram berdasarkan pemahaman sendiri. Harus ada pernyataan resmi dari
ulama sebagai orang yang memiliki kompetensi di bidang tersebut.
Hal
ini sejalan dan ditegaskan dalam HR Imam Bukhari No. 6015 yang berbunyi “Nabi
saw bersabda: ‘Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.’
Ada seorang sahabat bertanya: ‘Bagaimana maksud amanat disia-siakan?’ Nabi
menjawab: ‘Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah
kehancuran itu”.
Olehnya
itu, sudah semestinya, sejak sekarang untuk peduli dengan produk yang kita
komsumsi. Pastikan Produk tersebut telah memiliki sertifikat Halal sehingga
kita menjadi merasa aman, tenang dan yang pasti produk Halal akan memberikan
keberkahan karena kita telah mematuhi ajaran Allah dan RasulNya. Yang pada
akhirnya, kita berikan dukungan terhadap produk bersertifikat Halal, sehingga
masyarakat akan menjadikan syarat bagi produk yang di komsumsinya, dan tentu
saja Produsen akan memproduksi produk bersertifikat Halal untuk memenuhi syarat
dan kebutuhan konsumen.
Wallahu
muwaffiq
Penulis : Dr. Muhammad Nusran (Dosen Teknik Industri FTI UMI / Ketua Halal Centre UMI
Makassar)