Full Width CSS

Monday 1 June 2015

Strategi Perang Clausewitz

Pembahasan mengenai strategi selalu memunculkan banyak pandangan-pandangan baru utamanya dari pemikiran para strategists yang sudah ada sejak lama. Mulai dari Sun Tzu dengan strategi-strateginya yang cenderung filosofis hingga Clausewitz yang cenderung praktis. Pada artikel kali ini akan dibahas mengenai strategi yang dikemukakan Clausewitz mengenai perang. Berbicara mengenai Clausewitz, tentu penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu latar belakang kehidupannya sehingga dapat mempengaruhi pemikirannya. Carl Phillip Gottfried von Clausewitz lahir di Kerajaan Prusia dari keluarga aristokrat pada tahun 1780. Pada saat berusia 13 tahun, Clausewitz mengikuti ayahnya untuk menjadi tentara dan bekerja di bidang militer. Clausewitz adalah seorang perwira militer aktif dan pernah ditugaskan untuk mengemban misi di antaranya di Rhine pada tahun 1793-1794 juga perang pada tahun 1806. Pada perang tahun 1812, ia sempat menjadi seorang perwira Russia dan pangkat terakhirnya sebelum meninggal adalah sebagai Jenderal.

Latar belakang kehidupan tersebut dapat mengasumsikan bahwa hampir seluruh dari dasar pemikirannya berasal dari pengalamannya bertempur langsung di medan sehingga mengetahui seluk-beluk dan kondisi perang yang sebenarnya. Hal ini kemudian ditunjukkan dengan strategi-strategi perangnya yang cenderung praktikal. Dalam karyanya On War (1997), Clausewitz merupakan sebuah duel dalam skala yang sangat besar (Clausewitz, 1997:5). Dalam duel tersebut, kita menggunakan kekuatan fisik kita layaknya pegulat. Perang dalam pandangan Clausewitz merupakan sebuah aksi nyata yang berupa kekerasan yang dimaksudkan untuk mendorong lawan kita untuk memenuhi apa yang kita inginkan. Dalam clausewitz ditekankan bahwa konsep dasar dari sebuah strategi perang adalah pengertian atau pemahaman akan perang itu sendiri. Hal ini berangkat dari pendekatan Clausewitz yang mendefinisikan strategi sebagai bentuk engagements tujuan perang. Sehingga, penjelasan definisi strategi selalu mengarah pada hubungan antara kekuatan militer dan tujuan politik. Yang lebih lanjut digunakan sebagai pedoman pengaplikasian kebijakan suatu negara.
Untuk dapat mengalahkan lawan hingga batas terakhirnya, ada beberapa hal yang menurut Clausewitz penting untuk dilakukan. Yang pertama adalah utmost use force. Kita harus memiliki kemampuan yang melebihi kemampuan bertahan atau batas terendah musuh. Dari hal ini akan terjadi perlombaan peningkatan kekuatan, ketika kedua belah pihak berpandangan sama. Hal yang kedua yaitu disarm the enemy. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa perang memang dimaksudkan untuk dapat mendapatkan apa yang kita inginkan dari lawan. Untuk dapat memaksa lawan agar mau memenuhi keinginan kita, kita harus dapat mengalahkan mereka hingga sampai pada titik perlucutan senjata, dan tak ada hal lain yang dapat diperbuat oleh lawan selain menyerah pada kita. Selain itu, tanpa persenjataan, mereka tidak lagi menjadi ancaman bagi kita. Hal yang ketiga yakni utmost the exertion of powers. Untuk dapat memukul mundur lawan hingga batas terakhirnya membutuhkan dua hal dasar yaitu the sum of available means dan the strength of the will (Clausewitz, 1997:8). Dari hal inilah yang kemudian menjadi pemicu bagi usaha penigkatan kemampuan kedua pihak.
Clausewitz menggagas tiga konsep dasar yang terkenal yang disebut Three Dimensions of Wondrous Trinity, yang pertama adalah aksi. Artinya, yaitu sebagai aktualisasi dari perang yang merupakan kelanjutan dari kebijakan politik. Aksi disini menjurus pada total war yang berarti konfrontasi fisik antara pihak yang bersangkutan. Kedua adalah symmetrical countereaction. Clausewitz membagi perang menjadi dua yaitu perang simetris dan perang asimetris. Perang simetris esensinya adalah jika konstelasi pergerakan perang tersebut berbanding terbalik artinya satu menyerang dan satu pihak lain bertahan. Kemudian perang asimetris adalah jika dalam suatu peperangan terdapat kedua pihak lebih memfokuskan diri pada penyerangan dan bukan sebuah pertahanan. Yang ketiga adalah pandangan Clausewitz tentang perang simetri telah menginspirasi konsep bertahan dalam perang dan merupakan konsep strategi yang ideal.
Namun ada satu titik penting dari semua keberpihakan terhadap kekerasan yang mungkin dalam dilakukan dalam sebuah perang. Clausewitz mengemukakan, “War is always a serious means for serious object – its more particular definitions” (Clausewitz, 1997:21). Perang dimaksudkan untuk menciptakan harmoni yang dicapai melalui tindakan dan kebijakan politik yang sesuai dengan tujuan awal perang tersebut dilakukan.
Berbicara mengenai seberapa modernkah strategi tersebut, Clausewitz dalam artikel yang berjudul “What Is War?” menekankan beberapa hal, antara lain sebagai berikut. Dalam  artikel milik Clausewitz (1997: 8) dijelaskan bahwa sebenarnya yang menjadi tujuan utama dari semua aksi atau tindakan yang telah diperhitungkan dan diterapkan secara matang adalah hanya untuk melucuti senjata atau melumpuhkan lawan tidak bermaksud untuk menghancurkan. Sehingga, maksud dari Clausewitz yakni perang bukanlah tentang kekuasaan hidup diatas benda mati namun perang disini ditujukan untuk mendapatkan kembali atau melindungi posisi atau kepentingan yang terancam dengan cara mengurangi musuh melalui jalan perang. Yaitu bukan perang antara hidup dan mati melainkan perang dengan tujuan untuk melumpuhkan dan meniadakan kekuatan musuh hingga tak berdaya dan tidak menjadi suatu ancaman.
Walaupun dapat dikatakan modern dari sebelumnya namun dari keseluruhan isi artikel strategi yang dimaksudkan oleh Clausewitz masih tetap berada dalam konteks seni atau strategi perang. Dimana dalam artikel ini disebutkan pula adanya logical subtleties (cara-cara yang lebih halus) yang dimodifikasi atau digunakan bersamaan dengan jalan atau aksi kekerasan. Kemudian Clausewitz juga menambahkan bahwa tindakan yang dilakukan dengan jalan perang ini, seperti yang telah dikatakan sebelumnya merupakan “kelanjutan dari suatu kebijakan politik atau dapat dikatakan bahwa perang adalah tindakan politik” (Clausewitz, 1997: 21-23). Pernyataan tersebut benar karena tidak menutup kemungkinan, bila melihat sejarah perang terdahulu, perang selalu bermotif politik sehingga perang adalah instrumen nyata suatu pencapaian politik.
Sehingga dari uraian singkat diatas satu hal yang terlihat menonjol adalah bahwa perang tidak hanya dilakukan secara subjektif namun harus dilakukan secara objektif pula. Sasaran secara objektifnya yakni perang tidak harus berarti penghancuran total namun lebih berarah pada pencapaian tujuan dengan melumpuhkan lawan sehingga tidak ada kemungkinan bagi lawan tersebut untuk bangkit. Ini pula yang disampaikan oleh Clausewitz (1997:19) “War is a game both objectively and subjectively” sesuai dengan penjelasan kami sebelumnya.
Dengan pengalaman yang dimilikinya selama bertugas, Jenderal Clausewitz kemudian membuat sebuah buku yang menjadi buku teks standar dari para pemimpin militer di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia menerangkan tentang bagaimana bala tentara (soldiery) bekerja, menunjukkan bagaimana perang yang merupakan kelanjutan dari politik, tidak bisa ditebak seperti apa yang kebanyakan orang bilang tetapi perang justru seperti tertutup oleh kabut dimana tidak ada seorang pun yang sepenuhnya tahu apa yang akan terjadi (http://www.btinternet.com/). Pemikiran-pemikiran Clausewitz memiliki perbedaan dengan apa yang telah dituliskan oleh ahli strategi klasik Sun Tzu. Dapat dilihat bahwa pemikiran Sun Tzu lebih dalam mengandung filosofi-filosofi sedangkan Clausewitz menjabarkan penjelasannya dengan lebih praktis dan mekanis namun tetap memiliki sisi filosofis khas Clausewitz sendiri.
Clausewitz juga tidak sependapat dengan pemikiran Sun Tzu bahwa kemenangan dalam perang bisa diperoleh tanpa pertumpahan darah. Menurutnya, hal ini justru tidak sesuai dengan kondisi alamiah dari perang. Apabila dalam membuat suatu strategi seseorang tidak mempertimbangkan adanya kekerasan dan pertumpahan darah maka sama saja halnya dengan mempersiapkan kekalahan orang itu sendiri karena menurutnya tidak mungkin seseorang dapat mengalahkan musuh tanpa konsekuensi pertumpahan darah.
Kontribusi yang diberikan oleh Clausewitz didalam tulisannya terkait dengan strategi perang sangatlah besar, terutama sumbangsihya terhadap studi strategis yang mulai banyak dipelajari di berbagai belahan dunia. Terutama adalah dua hal penting, yaitu adanya keterlibatan unsur politik dan kekuatan moral di dalam perang, yang mana kedua hal tersebut belum ditemukan pada strategi perang yang ditulis oleh Sun Tzu di masa sebelumnya. Menurut Clausewitz, “the war of a community – of whole nations, and particularly of civilised nations- always starts from a political condition, and is called forth by a political motive, it is therefore a political act” (Clausewitz, 1997: 21). Dari kutipan tersebut terlihat bahwa keinginan-keinginan politiklah yang menjadi penggerak terjadinya peperangan. Jika dibandingkan dengan Sun Tzu, ia berasumsi bahwa perang itu sendiri adalah sebuah tujuan, sedangkan Clausewitz menilai bahwa perang dan strategi sebenarnya adalah suatu instrumen dan cara untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik. “The war is not merely a political act, but also a real political instrument, a continuation of political commerce” (Clausewitz, 1997: 22). Semakin besar keinginan-keinginan politik, maka akan semakin besar pula intensitas perang yang akan terjadi, dan begitu pula sebaliknya.
Kedua adalah kekuatan moral dalam perang. “The art of war has to deal with living and with moral forces” (Clausewitz, 1997: 20). Hal ini berkaitan dengan keberanian (courage) dan kepercayaan diri (self-reliance) yang menjadi suatu hal yang esensial didalam perang. Dibutuhkan suatu kebijaksanaan (wisdom) dan kehati-hatian (prudence) didalam menentukan strategi perang dan kalkulasi kekuatan pihak lawan. Apabila dikaitkan dengan kepentingan politik, moral ini dibutuhkan dalam menentukan kebijakan politik yang merupakan acuan didalam menentukan strategi perang. Misalnya, unsur moral seperti keinginan yang kuat yang harus dimiliki oleh seorang Jenderal. Seperti yang kita ketahui, bahwa seorang Jenderal memiliki hak untuk memutuskan strategi apa yang akan digunakan didalam perang, sehingga melalui daya pikir dan keinginan yang kuat ia dapat memutuskan strategi perang dengan tegas dan tepat. Keputusan yang diambil oleh seorang Jenderal nantiya harus dipertanggung jawabkan kepada pemerintah dan secara tidak langsung berpengaruh pada kebijakan politik tersebut.
Pemikiran Clausewitz tentang apa itu perang memberikan dampak atau pengaruh kepada pemahaman tentang sejarah kemiliteran, dan pemahaman dasar dari teori tersebut. Perang dipandang bukan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, akan tetapi perang merupakan alat politik, dan dari sudut pandang ini kita bisa menghindari menemukan diri kita berada dalam posisi yang berlawanan kepada seluruh sejarah kemiliteran. Pandangan ini juga menunjukkan bahwa bagaimana perang harus memperlihatkan perbedaan karakter menurut motif alami atau motif yang sesungguhnya serta keadaan dari mana mereka berasal.
Dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para pejabat negara dan jenderal hal yang terpenting, dan hal yang paling utama adalah dengan benar memahami adanya penghargaan  terhadap perang yang sedang dilakukan, tidak untuk mengambil sesuatu, atau berharap dapat membuat sesuatu terjadi, dengan adanya kejadian secara alami hal tersebut mustahil untuk terjadi. Kita harus masuk secara keseluruhan dalam memperhatikan rencana perang.
Teori yang dikemukakan oleh Clausewitz memberikan hasil tersendiri. Bahwa perang tidak hanya seperti bunglon yang nyata, karena hal itu berubah sesuai dengan alamnya akan tetapi hanya beberapa derajat di setiap bagian permasalahan, akan tetapi juga, secara keseluruhan perang, didalamnya terdapat hubungan menuju tendensi yang utama yang kita berada didalamnya, sangat hebat trinitas, elemen dari perang terdiri dari kekerasan, kebencian, dan rasa permusuhan, yang mana akan terlihat sebagai insting yang buta, terhadap permainan dari kemungkinan dan kesempatan, yang mana membuat jiwa melakukan aktivitas secara bebas, dan subordinat alami dari alat politik, yang mana hal tersebut dengan jernih termasuk menuju ke arah alasan. Terdapat tiga tendensi disini yang dimaksud oleh Clausewitz. Tendensi yang pertama yaitu fokus terhadap lebih banyak orang, yang kedua lebih kepada jenderal dan tentaranya, dan yang ketiga lebih kepada pemerintah.

Referensi:
Clausewitz, Carl Von. 1997. “What is War?” Dalam On War. Hertfordshire: Wordworth Classic of World Literature, pp 5-24
Hughes, Glys. 2011.  Squashed Philosophers Abridged Edition – Clausewitz – On War. [online]. Tersedia dalam: http://www.btinternet.com/~glynhughes/squashed/clausewitz.htm. Diakses pada 2 April 2012

0 comments:

Post a Comment