Full Width CSS

Friday, 7 November 2014

Kisah Ku



Kisah Ku
Oleh : Usman Dunda 

Sore ini dia datang menemuiku, Fadli namanya teman sekelasku. Dengan berlari dia menghampiriku seakan-akan dikejar hantu. Seperti halnya mobil balap yang kehilangan pedal rem dia hampir menambrakku yang sedang asik menikmati segelas kopi kesayanganku.

“Man.. si Cika Man, si Cika, si Cika (sambil kelelahan)”
“Iya, si Cika kenapa? Tarik nafas dulu lah biar ngomongnya jelas, kalau perlu duduk dulu. Nih ada kopi ada kue buatan mamaku dicicipin dulu biar kamu santai.”
“Nggak Man, ini berita harus secepatnya kamu ketehaui, aku aja tadi nggak percaya waktu teman-teman ngomongin Cika di kantin kampus.
“Emangnya ada berita apa sih? Kenapa juga teman-teman ngomongin si Cika? Oh.. aku tau, mereka pasti ngomongin aku sama cika kan? (sambil tersenyum). Mereka pasti iri kan melihat usia pacaran kami yang sudah 3 tahun (sambil menikmati kopi).
“Bukan Man, bukan itu maksud aku.”
“terus apa donk?
“Ya makanya dengarin aku dengan serius donk, (agak kesal)”

Aku pun terdiam, saat melihat wajah Fadli yang mulai serius. Karena aku tau sifat Fadli, jarang sekali dia bicara dengan nada seperti itu.

“OK, aku serius. Cika kenapa?
(dengan perlahan fadli mengatakannya) “Si Cika pacar kamu Man, bakalan nikah minggu depan. Ini barusan Cika nitipin undangan pernikannya ke aku buat kamu”

(hening) seakan bom perang dunia ke-III baru saja diledakan di dadaku, tubuhku lemas dan seakan langit runtuh menimpaku. Fadli pun menyerahkan undangan merah jambu itu, ku lihat ada foto yang memakai gaun kuning keemasan seperti raja dan ratu yang lagi berpose. Senyum manis yang sangat ku kenal, sorot mata yang tajam menatap wajahku dari atas kertas undangan merah jambu. Tangan ku gemetaran membuat aku tak sanggup memegangnya dengan erat. Aku tak percaya, tak mungkin Cika setega itu. Dua hari yang lalu aku dan dia merayakan usia hubungan kami untuk tahun yang ketiga. Cika tak pernah bercerita apapun tentang hal ini, bahkan kami tertawa terbahak-bahak malam itu.

“Man.. Man.. Man.. (sambil melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku). Man.. aku bisa duduk nggak? Tanya fadli yang mulai lelah berdiri.”
“Iya, silahkan.”

(dengan wajah kaku) aku pun mempersilahkan Fadli duduk, namun fikiranku masih mengingat kenanganku bersama Cika, yang kalaupun disediakan lautan, airnya tak cukup sebanding dengan banyaknya cerita yang  kami jalani.
Tanpa sadar kulihat kopi dan kue diatas meja telah dihabiskan oleh fadli yang kehausan saat berlari menemuiku, tak berapa lama fadli pun pamit pulang karena adzan maghrib berkumandang diujung langit yang memerah menyambut datangnya malam.
***
Bersambung..

0 comments:

Post a Comment