Kisah Ku
Oleh : Usman Dunda
Sore ini dia datang menemuiku,
Fadli namanya teman sekelasku. Dengan berlari dia menghampiriku seakan-akan
dikejar hantu. Seperti halnya mobil balap yang kehilangan pedal rem dia hampir
menambrakku yang sedang asik menikmati segelas kopi kesayanganku.
“Iya, si Cika kenapa? Tarik nafas
dulu lah biar ngomongnya jelas, kalau perlu duduk dulu. Nih ada kopi ada kue
buatan mamaku dicicipin dulu biar kamu santai.”
“Nggak Man, ini berita harus
secepatnya kamu ketehaui, aku aja tadi nggak percaya waktu teman-teman
ngomongin Cika di kantin kampus.
“Emangnya ada berita apa sih? Kenapa
juga teman-teman ngomongin si Cika? Oh.. aku tau, mereka pasti ngomongin aku
sama cika kan? (sambil tersenyum). Mereka pasti iri kan melihat usia pacaran
kami yang sudah 3 tahun (sambil menikmati kopi).
“Bukan Man, bukan itu maksud aku.”
“terus apa donk?
“Ya makanya dengarin aku dengan
serius donk, (agak kesal)”
Aku pun terdiam, saat melihat
wajah Fadli yang mulai serius. Karena aku tau sifat Fadli, jarang sekali dia
bicara dengan nada seperti itu.
“OK, aku serius. Cika kenapa?
(dengan perlahan fadli
mengatakannya) “Si Cika pacar kamu Man, bakalan nikah minggu depan. Ini barusan
Cika nitipin undangan pernikannya ke aku buat kamu”
(hening) seakan bom perang dunia
ke-III baru saja diledakan di dadaku, tubuhku lemas dan seakan langit runtuh
menimpaku. Fadli pun menyerahkan undangan
merah jambu itu, ku lihat ada foto yang memakai gaun kuning keemasan seperti
raja dan ratu yang lagi berpose. Senyum manis yang sangat ku kenal, sorot mata
yang tajam menatap wajahku dari atas kertas undangan merah jambu. Tangan ku
gemetaran membuat aku tak sanggup memegangnya dengan erat. Aku tak percaya, tak
mungkin Cika setega itu. Dua hari yang lalu aku dan dia merayakan usia hubungan
kami untuk tahun yang ketiga. Cika tak pernah bercerita apapun tentang hal ini,
bahkan kami tertawa terbahak-bahak malam itu.
“Man.. Man.. Man.. (sambil
melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku). Man.. aku bisa duduk nggak? Tanya
fadli yang mulai lelah berdiri.”
“Iya, silahkan.”
(dengan wajah kaku) aku pun
mempersilahkan Fadli duduk, namun fikiranku masih mengingat kenanganku bersama
Cika, yang kalaupun disediakan lautan, airnya tak cukup sebanding dengan
banyaknya cerita yang kami jalani.
Tanpa sadar kulihat kopi dan kue
diatas meja telah dihabiskan oleh fadli yang kehausan saat berlari menemuiku,
tak berapa lama fadli pun pamit pulang karena adzan maghrib berkumandang
diujung langit yang memerah menyambut datangnya malam.
***
Bersambung..
0 comments:
Post a Comment