Full Width CSS

Saturday 14 January 2017

Dari Kawanmu Yang Masih Menjadi Kawan


(Gambar: www.google.com)

Dengarlah dengan perlahan suara-suara yang entah darimana asalnya, tarik nafasmu dan ikuti iramanya. Irama ketulusan anak-anak remaja yang penuh kegirangan. Penuh dengan semangat untuk melakukan apa yang ia sukai.

Mungkin itu kata pembuka yang sedikit agak puitis untuk mememulai sesuatu yang entah berbicara tentang apa. Jujur saja aku pun bingung ingin membicarakakn apa setelah kalimat ini. Namun, jika kau berkenan mari sama-sama kita merenungkan dan berbicara dengan dirimu sendiri. Aku tidak sedang mengarahkanmu untuk melakukannya sendiri, aku ingin kau melakukannya bersama “diri dimasa lalu” atau mungkin bersama “diri dimasa depan”.

Untumu, aku ingin mengatakan bahwa ini akan terlalu rumit untuk dimengerti pada akhirnya, sekalipun memang begitu sederhana untuk diawal. Di malam yang hampir pagi disuatu kota, aku pernah berjalan menyusuri rintik-rintik hujan yang cukup membasahi kerinduan pada seseorang. Lampu-lampu kota, trotoar, sepeda motor, mobil, pria, wanita, semua adalah tentang kota seperti dibeberapa tempat lainnya. Yang cukup menarik adalah aku tak tahu sedang menuju kemana, padahal udara begitu dingin dan menusuk hingga ke tulang-tulang karena hujan bukannya berhenti malah bertambah deras.

Sampai disini, apakah kau mulai mengerti kemana arah pembicaraan ini? Jika sudah mengerti, maka harusnya aku mengakhirinya. Aku tidak ingin bersusah payah menceritakan sesuatu yang kau sudah mengetahuinya. Ini bukan semata tentang ceritaku, tapi apa yang kita lakukan pada orang kebanyakan diluar sana. Entah dipertemanan maupun dikeluarga. Kita sering sekali “merasa mengetahi” segalanya yang terjadi pada orang lain, padahal kita tidak sedikit pun mengetahuinya.

Apakah kau benar-benar memahami orang lain? Atau hanya sedang berakting ria untuk menunjukan kemampuan berbohongmu? Semua orang berhak menanyakannya, termasuk aku. Ya, menanyakannya padamu. Sekarang mari kita bertukar posisi, kau yang bercerita aku yang mendengarkan. Apa kau akan memulainya dengan kata-kata yang puitis sepertiku? Atau menajamkan peluru dan mengarhkannya pada orang yang mempercayaimu? Sederhana, ya sesederhana itu pertanyaanku. Seperti sesederhana mereka yang tak memiliki akses kesehatan, pendidikan dan hak untuk hidup yang layak. Kebanyakan orang diluar sana hanya ingin mendengarkan cerita bahagia, sementara dibalik dinding bambu tidak sedikit yang membungkam mulut anaknya yang kelaparan karena ulahmu.

Stop, kita sedang membicarakan apa? Aku mulai tidak mengerti kawanku. Untuk itu sudahi saja pembicaraan ini. Aku muak dengan tipu dayamu. Seperti halnya mereka yang berjanji diatas panggung megah dan dengan lantangnya ia berteriak lewat microphone bahwa “semua demi kesejahteraan”. Dan itu teriakan yang sangat menggugah yang ku denganrkan lima tahun sekali.

Pernahkah kau merasa muak dengan semua itu? Pura-pura tidak menyadari semuanya. Padahal dalam pikiranmu mengatakan ini tidak benar sama sekali. Mereka menggunakan segala cara demi kepentingannya dan kelompoknya. Percayalah, tidak semuanya demi kepentinganmu.

Kau mulai bingung dengan apa yang aku bicarakan? Kau ingin tahu yang sebenarnya, itulah yang ku rasakan jika memandang wajahmu yang penuh kepalsuan. Maafkan aku, kau sama saja dengan mereka.

Dari kawanmu yang masih menjadi kawan. Terima kasih.

Makassar, 14 Januari 2017

0 comments:

Post a Comment