(Gambar: www.google.com) |
Dengarlah dengan perlahan
suara-suara yang entah darimana asalnya, tarik nafasmu dan ikuti iramanya. Irama
ketulusan anak-anak remaja yang penuh kegirangan. Penuh dengan semangat untuk
melakukan apa yang ia sukai.
Mungkin itu kata pembuka yang
sedikit agak puitis untuk mememulai sesuatu yang entah berbicara tentang apa. Jujur
saja aku pun bingung ingin membicarakakn apa setelah kalimat ini. Namun, jika kau
berkenan mari sama-sama kita merenungkan dan berbicara dengan dirimu sendiri. Aku
tidak sedang mengarahkanmu untuk melakukannya sendiri, aku ingin kau
melakukannya bersama “diri dimasa lalu” atau mungkin bersama “diri dimasa depan”.
Untumu, aku ingin mengatakan
bahwa ini akan terlalu rumit untuk dimengerti pada akhirnya, sekalipun memang
begitu sederhana untuk diawal. Di malam yang hampir pagi disuatu kota, aku
pernah berjalan menyusuri rintik-rintik hujan yang cukup membasahi kerinduan
pada seseorang. Lampu-lampu kota, trotoar, sepeda motor, mobil, pria, wanita,
semua adalah tentang kota seperti dibeberapa tempat lainnya. Yang cukup menarik
adalah aku tak tahu sedang menuju kemana, padahal udara begitu dingin dan
menusuk hingga ke tulang-tulang karena hujan bukannya berhenti malah bertambah deras.
Sampai disini, apakah kau mulai
mengerti kemana arah pembicaraan ini? Jika sudah mengerti, maka harusnya aku
mengakhirinya. Aku tidak ingin bersusah payah menceritakan sesuatu yang kau
sudah mengetahuinya. Ini bukan semata tentang ceritaku, tapi apa yang kita
lakukan pada orang kebanyakan diluar sana. Entah dipertemanan maupun
dikeluarga. Kita sering sekali “merasa mengetahi” segalanya yang terjadi pada
orang lain, padahal kita tidak sedikit pun mengetahuinya.
Apakah kau benar-benar memahami
orang lain? Atau hanya sedang berakting ria untuk menunjukan kemampuan
berbohongmu? Semua orang berhak menanyakannya, termasuk aku. Ya, menanyakannya
padamu. Sekarang mari kita bertukar posisi, kau yang bercerita aku yang
mendengarkan. Apa kau akan memulainya dengan kata-kata yang puitis sepertiku? Atau
menajamkan peluru dan mengarhkannya pada orang yang mempercayaimu? Sederhana,
ya sesederhana itu pertanyaanku. Seperti sesederhana mereka yang tak memiliki
akses kesehatan, pendidikan dan hak untuk hidup yang layak. Kebanyakan orang
diluar sana hanya ingin mendengarkan cerita bahagia, sementara dibalik dinding bambu
tidak sedikit yang membungkam mulut anaknya yang kelaparan karena ulahmu.
Stop, kita sedang membicarakan
apa? Aku mulai tidak mengerti kawanku. Untuk itu sudahi saja pembicaraan ini. Aku
muak dengan tipu dayamu. Seperti halnya mereka yang berjanji diatas panggung
megah dan dengan lantangnya ia berteriak lewat microphone bahwa “semua demi
kesejahteraan”. Dan itu teriakan yang sangat menggugah yang ku denganrkan lima
tahun sekali.
Pernahkah kau merasa muak dengan
semua itu? Pura-pura tidak menyadari semuanya. Padahal dalam pikiranmu
mengatakan ini tidak benar sama sekali. Mereka menggunakan segala cara demi
kepentingannya dan kelompoknya. Percayalah, tidak semuanya demi kepentinganmu.
Kau mulai bingung dengan apa yang
aku bicarakan? Kau ingin tahu yang sebenarnya, itulah yang ku rasakan jika memandang
wajahmu yang penuh kepalsuan. Maafkan aku, kau sama saja dengan mereka.
Dari kawanmu yang masih menjadi
kawan. Terima kasih.
Makassar, 14 Januari 2017
0 comments:
Post a Comment