Oleh: Carrolline
Tabe' Karaeng.
Dengarkan suara batin yang
menerawang jauh
sejauh mata memandang.
Tubuh mudaku bersimpuh diatas debu
Tubuh mudaku bersimpuh diatas debu
bercampur peluh bersulam dosa bagai
benalu.
Dalam jasadmu, kau menangis
menyaksikan
setiap inci kekacauan.
Dalam diammu, kau rasakan
Dalam diammu, kau rasakan
setiap
detik perubahan.
Saksikanlah, Puang!
Air mata, diambang siung reinkarnasi.
Air mata, diambang siung reinkarnasi.
Kota Pangka Je'ne.
Kau sematkan je'ne sebagai nafas.
Kau permakkan pangka sebagai alur kehidupan.
Kota kecil yang tak akan tertindas
Para penjajah bertindak bengis.
Begitu katamu, Karaeng.
Kota Je'ne A'pangka.
Bagai segumpal darah tertumpuk
ditelapak tangan kecilmu.
Bagai sebutir air yang kau berikan
Bagai sebutir air yang kau berikan
pada leluhurmu agar abadi dan
lestari.
Bagai setumpuk uang
yang nilainya tak akan mati.
Kini berganti warna,
Kini berganti warna,
kutatap miris bergelimang air mata.
Karaeng. Pammopporang mama.
Darahmu terbalut dibambu runcing
Kujadikan tanda warisan yang membusung tinggi
Harta yang kau simpan, masih tersisa.
Darahmu terbalut dibambu runcing
Kujadikan tanda warisan yang membusung tinggi
Harta yang kau simpan, masih tersisa.
Dia adalah Liukang tupabbiring
Yang dulu kau suguhi surga meregang
asa.
Anak yang kau pikul dan kau hargai
Anak yang kau pikul dan kau hargai
dengan seonggok darah dan bambu.
Dia adalah Tabo-tabo.
Yang dulu kau bangga-banggakan
akan belukar dan pohon yang
berkemilau.
Kini meregang nyawa, dibantai
Kini meregang nyawa, dibantai
oleh manusia tak berprikemanusiaan.
Karaeng.
Rumahmu masih tersisa.
Dia adalah Biringere
Dia adalah Biringere
yang dulu kau sebut rumah kokoh
bagi insan-insan dan kau
tinggalkan.
Kini yang ada hanya bangkai ilalang.
Sebab gunung yang berpijar
kini retak tak berparas lagi.
Karaeng. Pammopporang mama.
Penulis adalah mahasiswi jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di Universitas Muhammadiyah Makassar.
0 comments:
Post a Comment